Ganti menteri, ganti kurikulum. Mengapa harus diganti? Apanya yang
diganti? Untuk jawab pertanyaan ini, perlu data akurat serta kajian
khusus. Lantas, setujukah Anda dengan perubahan kurikulum? Ini bisa
panjang pula diskusinya. Apalagi kalau setiap orang bebas ungkap
argumentasinya. Faktor subjektivitas akan menggiring kita berdebat
kusir, soal lain yang bisa jadi tak menjawab persoalan utama. Karena
kontraproduktif, hindarilah. Penting, apapun perubahan kurikulum yang
hendak digagas, kita mesti bersungguh-sungguh dalam proses
implementasinya. Satu prinsip, perubahan kurikulum mesti berdampak pada
peningkatan kualitas pendidikan. Tak ada kompromi untuk soal kualitas pendidikan. Saya cukup tercerahkan ketika mencerna gagasan (Alm) Prof. Dr. Dedi Supriadi tentang relevansi pembaharuan kurikulum pendidikan.
Dalam bukunya (2004) “Membangun Bangsa Lewat Pendidikan”, beliau
memberikan landasan berpikir yang sangat fundamental dalam mengkaji isu
pembaharuan kurikulum. Perubahan, itu sebuah keniscayaan. Yang jadi
soal, sikap responsif atau reaktif yang jadi landasan bersikap. Meski
diawali huruf yang sama ‘r’, “responsif” dan “reaktif” jelas beda
maknanya. Responsif, sikap yang dilandasi perhitungan matang. Inisiasi
perubahan sudah diprediksi jauh-jauh hari. Sedangkan sikap reaktif
sangat melelahkan diri sendiri. Mengapa? Bisa jadi kita berubah karena
latah dengan pihak luar. Karena latah, kita luncurkan perubahan dengan
konsep “cacat sejak lahir”. Naasnya, ide perubahan tak selesaikan
persoalan. Khawatirnya malah melahirkan persoalan baru. Di Indonesia,
telah dilakukan beberapa kali pembaharuan kurikulum sekolah, yaitu tahun
1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006. Muncul rasa
penasaran, berapa sering kurikulum diubah, dan sampai tingkat mana
tingkatan perubahan tersebut dilakukan. Dalam kacamata analisisnya,
Prof. Dr. Dedi Supriadi membedakan perubahan kurikulum dalam skala besar
dan skala kecil. Menurut beliau, perubahan kurikulum dari tahun 1975
sampai 2004 merupakan perubahan kurikulum dalam skala besar dengan
mengubah struktur dan materi kurikulum. Perubahan tersebut membawa
serta perubahan pada berbagai aspek dan dimensi pendidikan,
seperti guru, sarana penunjang khususnya buku-buku teks, kegiatan
belajar-mengajar, evaluasi, dan peserta didik beserta orangtuanya.
Hampir dapat dipastikan, perubahan yang bersifat komprehensif dan
berskala besar cenderung mengubah arah dan orientasi praktik pendidikan
di semua tingkatan, khususnya di tingkat sekolah. Sayangnya, perubahan
kurikulum dalam skala kecil belum dilakukan. Perubahan pada skala mikro
lebih mengandalkan pada pengalaman para guru dan praktisi pendidikan
dalam menerapkan kurikulum.
Sambil kurikulum berjalan sambil terus diperbaiki. Dampak yang
diharapkan lebih bersifat inkremental dan gradual, tidak bersifat
menyeluruh dan mendadak. Guru punya ruang kreativitas yang cukup
leluasa untuk mengeksplorasi penerapan kurikulum pada lokasi serta
konteks sekolah yang berbeda-beda. Tapi ya itu tadi, Prof. Dedi menyebut
pemerintah kita dalam kurun waktu perubahan kurikulum 1975 sampai 2004
amat mudah tergoda untuk mengubah dan memperbaharui kurikulum dalam
skala luas (mengubah mata pelajaran sekaligus struktur isinya), dengan
kurang memperhitungkan apa akibat serta dampaknya bagi peserta didik,
sekolah, dan masyarakat. Di halaman 177, beliau tegas menyatakan,
“Sebagai orang yang tertarik pada sejarah pendidikan, saya berani
mengatakan bahwa jauh sejak Indonesia merdeka tahun 1945 atau lebih
khusus lagi sejak program-program Repelita dimulai tahun 1967/1970
tatkala pembangunan pendidikan mulai dilaksanakan secara serius, tiga
tahun terakhir sejak reformasi bergulir tahun 1998 merupakan periode
paling padat perubahan. Dan tahun 2002 adalah salah satu puncak
diluncurkannya berbagai perubahan yang dimaksud”. Jika kita cermati
perubahan ekstrim di tahun 2002, beberapa inovasi pendidikan yang
mendominasi panggung pendidikan yaitu Pendidikan Berbasis Luas,
Kurikulum Berbasis Kompetensi, Manajemen Berbasis Sekolah, Ujian Akhir
Nasional pengganti EBTANAS, pembentukan Dewan Sekolah dan Dewan
Pendidikan Kabupaten/Kota. Setiap pembaruan tersebut memiliki kisah dan
problematikanya sendiri. Fenomena menarik di saat itu, perubahan itu
umumnya memiliki sifat yang sama, menggunakan kata berbasis (based).
Serba berbasis, gejala apa?
Puluhan tahun hidup dalam sistem yang serba sentralistik memberi
pengaruh atas lahirnya kebijakan pendidikan yang bersifat top-down.
Karena sudah terbiasa “disuapi”, mentalitas dan kemampuan berinovasi
menjadi persoalan amat serius. Pendidikan seakan-akan hanya milik
pemerintah dan masyarakat “ngontrak”! Pengambilan keputusan seakan-akan
hanya milik birokrasi pendidikan. Sekolah dan pengelola pendidikan di
tingkat lokal seakan-akan hanya pelaksana belaka dari apa maunya orang
di atas. Persoalannya, pembaharuan kurikulum akan berjalan mulus andai
bisa diterapkan di tataran praktis pendidikan. Nah lho, siapa bisa jamin
guru dan stakeholders pendidikan paham dan prigel bagaimana cara
menerapkan kurikulum di lapangan? Apakah mereka juga punya rasa
kepemilikan atas lahirnya kurikulum yang diperbaharui?
Belajarlah membaca tanda-tanda zaman. Prof. Dedi, satu dari sekian
banyak orang yang dianugerahi keistimewaan ini. Latar belakang hidupnya
sebagai guru, membantu beliau bisa membaca tanda-tanda pembaharuan
kurikulum bisa berjalan di tempat. Apa pasal bisa demikian?
Simak pernyataan beliau yang termaktub masih di Buku Membangun Bangsa
Lewat Pendidikan, “Sebagian besar guru mengaku, untuk menghafal arti
istilah-istilah itu –istilah dalam kebijakan pendidikan yang berbau kata
serba berbasis– saja sudah tidak ringan, apalagi melaksanakannya secara
serempak, sementara mereka telah begitu banyak dibebani bermacam-macam
tugas. Lucunya lagi, cara mengucapkan dan menuliskannya pun
kadang-kadang keliru. Misalnya, “based” ditulis “base”, “best”, “bus”.
Fullan & Stiegerbauer (1991: 33) dalam The New Meaning of
Educational Change mencatat bahwa setiap tahun guru berurusan dengan
sekitar 200.000 jenis urusan dengan karakteristik yang berbeda. Dan itu
merupakan sumber stres bagi guru. Mungkin tak aneh bila dilaporkan
banyak guru mengalami stres dan jenuh (burnout). Akibat lainnya adalah
di banyak negara, sebagian besar guru cenderung resisten terhadap
perubahan, antara lain karena tugas-tugas rutinnya sendiri telah begitu
bejibun”. Inilah cara beliau membaca tanda-tanda zaman.
Mana mungkin perubahan kurikulum bisa diterapkan jika ditangani guru
yang stres dan resisten dengan lahirnya perubahan itu sendiri. Catat,
tak untuk digeneralisir, pengalaman berjumpa dengan guru-guru di
berbagai daerah pasca ditetapkannya Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan), mereka terang-terangan sampaikan masih ada saja yang
kebingungan dalam mengimplementasikan kurikulum tersebut.
Bahkan, ketika berjumpa guru-guru di Maluku Tenggara di pertengahan
tahun 2009, mereka tanpa malu-malu bilang baru mendengar istilah
Kurikulum 2006. Padahal, 3 tahun silam sudah disosialisasikan secara
bertahap ke seluruh stakeholders pendidikan di Indonesia. Alamak apa
saya tidak stres jadinya. Tragedi semacam ini tak boleh terulang.
Sekarang, di penghujung tahun 2012, kencang berhembus kabar akan
adanya perubahan kurikulum yang lebih fokus pada upaya pembentukan
karakter. Ada apa lagi dengan kurikulum kita? “Kurikulum” kita kembali
jadi korban yang tergugat akibat dari dugaan gagalnya sistem pendidikan
mengatasi banyak persoalan.
Mengapa harus kurikulum? Apakah soal kualitas guru, birokrasi yang
sehat, akses pendidikan, dan aspek pendidikan penting lainnya sudah
selesai dituntaskan? Tas tas tuntas pokoknya. Ingat, persoalan kurikulum
tak berdiri sendiri. Ada hubungan saling terkait satu sama lain.
Saya menangkap ada pesan yang hendak disampaikan Prof. Dedi bagi kita
semua dalam menyikapi soal perubahan. Apapun namanya, perubahan,
inovasi, pembaharuan dan istilah sejenis lainnya menjadi kata kunci yang
ditinggikan, diucapkan dengan penuh khidmat, bahkan “diberhalakan”
seakan-akan segalanya. Tapi tak berarti itu semua menjadikan kita
kehilangan kekritisan dalam menanggapi ide perubahan atau menjadi tak
realistis dalam menggagas perubahan.
Perubahan bukan hanya untuk perubahan, melainkan untuk tujuan lain
yang lebih tinggi, mulia, dan bermartabat. Perubahan adalah alat, bukan
tujuan. Jangan sampai mengalami disorientasi dalam menggagas dan
mengelola perubahan, termasuk dalam soal pendidikan.
Sumber : Republika.co.id dan Redaksi