INILAH.COM, Jakarta – Laporan terbaru Apple
menunjukkan, ada 85 juta orang mendaftar pada layanan iCloud miliknya.
Hal ini mengindikasikan pengguna komputer sangat tertarik ‘awan’.
Hal ini seolah menunjukkan, sejumlah besar pengguna komputer bersedia atau bahkan senang mempercayakan data pribadinya, mulai dari dokumen hingga musik dan bermacam benda digital lainnya.
Meski bukanlah konsep baru, iCloud Appledan keberhasilannya yang tak terbantahkan menunjukkan sejauh mana orang percaya pada ‘awan’ atau server di fasilitas khusus yang berada ribuan kilometer jauhnya untuk menyimpan data mereka. Tak hanya itu, mereka mempercayakan layanan itu bukan sebagai cadangan melainkan sebagai repositori tunggal pada kehidupan digital mereka.
Selain Apple, Microsoft juga mengatakan ada 17 juta orang tiap bulan yang menggunakan layanan SkyDrive dan Dropbox melaporkan memiliki lebih dari 50 juta pengguna. Layanan ‘awan’ serupa untuk musik juga tersedia bagi pengguna dari Amazon dan Google yang juga merupakan bagian dari tren yang tampaknya sudah tak terbendung lagi.
Tentu saja, sebelum kalimat ‘komputasi awan’ diciptakan, penyimpanan data situs tersedia secara luas meski biasa dianggap sebagai bentuk ‘sabuk dan suspender’ untuk cadangan bahan pengguna yang ada di komputer mereka sendiri.
Bedanya dengan ‘awan’ adalah, banyak orang tampak cukup yakin menggunakan penyimpanan data penting dan aplikasi, menggunakan program dan mengakses file di tablet, komputer atau smartphone saat diperlukan dan mereka juga bebas menyimpannya kembali di awan.
Sementara kepercayaan pada awan tampak terus berkembang, beberapa kualitas dan teknologi di balik ‘komputasi awan’ memiliki kesulitan potensial untuk pengguna tiap individu.
Pertama dan terpenting adalah, komputasi awan butuh koneksi internet yang bisa diandalkan. Begitu banyaknya orang yang bekerja di rumah, hal ini bisa menjadi masalah karena, ISP terhandal sekalipun bisa mengalami down sesekali.
Jika program dan data ada dalam media penyimpanan sendiri, Anda bisa terus bekerja hingga selesai. Jika tidak, bagaimanapun juga, tak ada internet tak ada awan, tak ada awan berarti tak ada pekerjaan.
Bahkan, dengan internet yang handal sekalipun, komputasi awan bisa melambat dan menghambat alur kerja. Program dan file juga bisa termuat lebih lambat dibanding saat mengaksesnya secara lokal dan ini membuat orang frustrasi.
Tentunya ada kekhawatiran mengenai keamanan meskipun semua penyedia layanan ‘awan’ mengklaim telah meningkatkan keamanan datanya yang telah direplikasi di beberapa mesinnya. Pada akhirnya, ini adalah masalah kepercayaan dan apa yang diinginkan para pengguna. CEO Apple Tim Cook sendiri mengaku tak meragukan apa yang mereka inginkan.
“Saya melihatnya sebagai perubahan mendasar, mengakui bahwa orang memiliki banyak perangkat, dan mereka ingin menyimpan kontennya di awan agar mudah diakses dari semua perangkat. Dengan 85 juta pelanggan hanya dalam tiga bulan, ini bukan lagi produk. Ini merupakan strategi untuk dekade berikutnya,” kata Cook.
Memang banyak pengguna yang mempercayai layanan ini. Bagaimana dengan Anda? [mdr]
Hal ini seolah menunjukkan, sejumlah besar pengguna komputer bersedia atau bahkan senang mempercayakan data pribadinya, mulai dari dokumen hingga musik dan bermacam benda digital lainnya.
Meski bukanlah konsep baru, iCloud Appledan keberhasilannya yang tak terbantahkan menunjukkan sejauh mana orang percaya pada ‘awan’ atau server di fasilitas khusus yang berada ribuan kilometer jauhnya untuk menyimpan data mereka. Tak hanya itu, mereka mempercayakan layanan itu bukan sebagai cadangan melainkan sebagai repositori tunggal pada kehidupan digital mereka.
Selain Apple, Microsoft juga mengatakan ada 17 juta orang tiap bulan yang menggunakan layanan SkyDrive dan Dropbox melaporkan memiliki lebih dari 50 juta pengguna. Layanan ‘awan’ serupa untuk musik juga tersedia bagi pengguna dari Amazon dan Google yang juga merupakan bagian dari tren yang tampaknya sudah tak terbendung lagi.
Tentu saja, sebelum kalimat ‘komputasi awan’ diciptakan, penyimpanan data situs tersedia secara luas meski biasa dianggap sebagai bentuk ‘sabuk dan suspender’ untuk cadangan bahan pengguna yang ada di komputer mereka sendiri.
Bedanya dengan ‘awan’ adalah, banyak orang tampak cukup yakin menggunakan penyimpanan data penting dan aplikasi, menggunakan program dan mengakses file di tablet, komputer atau smartphone saat diperlukan dan mereka juga bebas menyimpannya kembali di awan.
Sementara kepercayaan pada awan tampak terus berkembang, beberapa kualitas dan teknologi di balik ‘komputasi awan’ memiliki kesulitan potensial untuk pengguna tiap individu.
Pertama dan terpenting adalah, komputasi awan butuh koneksi internet yang bisa diandalkan. Begitu banyaknya orang yang bekerja di rumah, hal ini bisa menjadi masalah karena, ISP terhandal sekalipun bisa mengalami down sesekali.
Jika program dan data ada dalam media penyimpanan sendiri, Anda bisa terus bekerja hingga selesai. Jika tidak, bagaimanapun juga, tak ada internet tak ada awan, tak ada awan berarti tak ada pekerjaan.
Bahkan, dengan internet yang handal sekalipun, komputasi awan bisa melambat dan menghambat alur kerja. Program dan file juga bisa termuat lebih lambat dibanding saat mengaksesnya secara lokal dan ini membuat orang frustrasi.
Tentunya ada kekhawatiran mengenai keamanan meskipun semua penyedia layanan ‘awan’ mengklaim telah meningkatkan keamanan datanya yang telah direplikasi di beberapa mesinnya. Pada akhirnya, ini adalah masalah kepercayaan dan apa yang diinginkan para pengguna. CEO Apple Tim Cook sendiri mengaku tak meragukan apa yang mereka inginkan.
“Saya melihatnya sebagai perubahan mendasar, mengakui bahwa orang memiliki banyak perangkat, dan mereka ingin menyimpan kontennya di awan agar mudah diakses dari semua perangkat. Dengan 85 juta pelanggan hanya dalam tiga bulan, ini bukan lagi produk. Ini merupakan strategi untuk dekade berikutnya,” kata Cook.
Memang banyak pengguna yang mempercayai layanan ini. Bagaimana dengan Anda? [mdr]
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !